Friday, March 22, 2013

Pelajaran Abdi

"Aku turun lagi?"
"Ya."
"Kali ini apa yang harus aku pelajari? :)"
"Pelepasan."
"Huh?"
"Pelepasan."
...
"Sudah. Bersiap saja untuk turun."
"Kapan?"
"Harusnya seka..."

---

-3 bulan
Ia merasa badan yang mengandungnya penuh dengan kekesalan. Kenapa? Tanyanya pada jantung yang berdetak dekat dengannya.
Karenamu, jawab jantung itu.
Hm... :)
Unwanted.  Oh well.

1 tahun
Matanya memandang ibunya yang terlihat kelelahan. 5 anak sudah. Namun ajaran agama melarangnya menuntaskan rahimnya. Ibu yang ini terlihat kuat, namun jelas letih dan perlu tempat bersandar.
Ia menghentikan tangisnya dan memutuskan untuk tidur sambil mengemut jempol.

3 tahun
Ia menemukan banyak kerikil cantik di dekat rumah. Ia kumpulkan dan taruh di ranjang ibu. Pulang dari pasar ibu mengomel melihat ranjangnya kotor dan mulai mengambil sapu lidi.
Pantatnya sakit.

7 tahun
Ibu dan ayah bertengkar. Suaranya keluar dari sela-sela pintu kamar.
Ia bersender pada pintu itu, tangannya menempel erat pada kayunya.
Berhentilah, Bu. Berhentilah, Yah. :) Cinta harusnya tidak saling menyakiti.
Aku tahu kalian saling cinta, tapi entah mengapa kalian senang mengorek-ngorek luka lama yang harusnya kalian tinggalkan saja di masa lalu.

13 tahun
Aku harus keluar dari sini segera.
Ini bukan tempatku.
Ayo cepat besar agar aku bisa pulang.

19 tahun
Ayah meninggal!
Apa ini?
Ayah duluan pulang?
Ibu termangu di sudut jendela. Matanya berkaca, mulutnya tertarik tegang.
Kerutnya semakin dalam.

27 tahun
Ibu sakit.
Aku tidak akan menyerah.
Seperti ibuku bilang, "Tidak ada yang tak bisa kamu lakukan, Nak. Dunia di genggamanmu. Bila kau dengarkan kata hatimu. Kau bisa mengubah semua yang ingin kau ubah."
Aku ambil 3 pekerjaan. Penulis freelance, penerjemah, dan guru les bahasa Inggris.
Kanker ibuku, aku akan mengusirnya.

29 tahun
Ibu mau menyerah. Tapi aku tidak.
Dia tak mau chemotheraphy lagi. Mual. Menyakitkan. Dan dia membenci fisiknya yang menjadi hancur akibat pengobatan itu. Pengobatan? Aku mulai tak yakin itu metode untuk mengobati :(
Tapi itu yang dianjurkan dokter. Dokter tak mungkin berbohong kan? Kan?
Aku memaksa ibu untuk bertahan. Ingat pesan ibu dulu, "Selama napas masih ada, kewajiban kita untuk bertahan hidup. Karena Tuhan sudah mempercayai hingga memberi kita nyawa. Kamu tidak boleh mengecewakan Tuhan."
Ibu, jangan kecewakan Tuhan.

31 tahun
Mimpi itu berulang selama 3 hari.
Sudah pasti bukan mimpi biasa.
Di mimpi itu, aku mempermainkan burung di tanganku.
Setiap ia hendak terbang, aku menurunkan telapak tanganku, hingga ia tak bisa terbang.
Dia terus ada di genggamanku.
Terlihat dia tak sabar ingin terbang ke langit.
Tapi aku tak mau. Tak bisa. Aku berusaha keras, berjuang mempertahankannya.

Bertahun-tahun aku lupa apa tujuan hidupku kali ini.
Pelepasan.

Aku tempelkan kepalaku ke tanah. Aku tak tahu kenapa. Bagaimana.
Aku hampakan diriku. Aku peluk bumi lalu bercerita,
"Kau yang Maha Mengetahui hatiku, akalku, jiwaku, ragaku, rahasiaku,...
Aku menyerah.
Aku serahkan semua yang aku punya, sebab aku tidak memilikinya.
Aku terima pelajaranku kali ini. Pelepasan.
Aku tidak memiliki apa-apa. Aku tidak bisa mengontrol apa-apa.
Aku bak buih atau lebih kecil daripada itu.
Aku bak debu atau lebih halus daripada itu.

Aku lepaskan semua, yang Maha Kuat.
Semua mlik-Mu. Dan terima kasih atas pelajaran kali ini"

Di sebuah ruangan yang terlalu dingin, garis lurus akhirnya datang.

Friday, 12.15 am
Cibubur Country
Jiwa letih ini, bersabarlah :)

Saturday, March 9, 2013

Membunuh Cinta

Perempuan itu menatap kosong ke depan.
Jam 1 pagi. Dia kedinginan. 
Di stasiun Gambir dia duduk sendirian. 
Baju kausnya lusuh, celana jeansnya masih lembab habis kehujanan tadi.

Samar-samar dia dengar beberapa pria & wanita berbicara di belakangnya, "Mungkin pelacur kali,".
Ia tersenyum pahit.
Ia memegang perutnya perlahan.
Ada janin 3 bulan di sana.
Dia sungguh berharap janinnya tidak bisa merasakan isi hatinya.

5 jam yang lalu dia di rumah.
Mencium kening anak-anaknya, lalu tak henti merasa bersyukur atas hidup yang sempurna.
Lalu dia duduk di meja makan. 
Melihat laptop suaminya terbuka dan YM menyala.
Pembicaraan dengan seorang wanita.
Insting menggerakkannya untuk meraih mouse.
Conversation history.

Lalu dunianya runtuh.
Dia mengganti baju tidurnya, lalu mengambil dompet dan Blackberry-nya.
Lalu dia pergi.
Hujan turun gerimis, malam itu.
Tapi dia tetap berjalan.
Dalam tiap napas yang ia tarik, serasa ada goresan pisau yang tajam ikut masuk.

Jauh dia berjalan, sampai akhirnya ada taksi menepi.
Lalu dia naik.
Ke Sarinah. Sarinah banyak tempat 24 jam, pikirnya.
Ke bioskop. Pindah ke cafe. Lalu memutuskan ke Bandung naik kereta api jam 5 subuh.

Telpon berdering, sang suami menelpon.
"Kamu lagi ketemu sama siapa? Cowok mana?".
Dia tersenyum.
Beberapa kali lelakinya menanyakan hal yang sama. 
Dia tersenyum dan diam.
Akhirnya dia menjawab,
"Pergi ke meja makan, dan lihat isi laptopmu".

Ketika itu, di dalam bayangannya, dia mengambil cinta yang ada di dadanya.
Yang kerap membuatnya memandang suaminya yang tertidur, lalu berdoa bahwa ia tak ingin hidup tanpa lelaki ini.
Yang berharap dia tak sedetik pun harus hidup tanpanya.
Yang ia pikirkan begitu ia bangun dan ia pikirkan begitu ia hendak tidur.
Lelaki yang mengisi jiwa & raganya. Seperti darah yang mengalir, lelaki itu adalah ritme detak jantungnya.

Ia ambil cinta itu.
Ia pergi ke sungai yang biru tua.
Lalu ia lempar cinta itu ke sana.
Hari itu, cinta sudah mati.
Dan tak perlu hidup kembali.
Karena dia tidak memerlukannya lagi.

Di kehidupan yang ini, cinta sudah mati.